Kisah Sultan Sulaiman Al Qanuni : "Itu bukan urusanku!"

 

Kisah Sultan Sulaiman Al Qanuni :

"Itu bukan urusanku!"





     Ketakutan yang paling besar bagi seorang penguasa yang telah berada di masa kejayaan tentunya adalah ketakutan akan kehilangan kekuasaan dan kehancuran negaranya. Begitu pula yang dialami oleh Sultan Sulaiman Al Qanuni (1520-1566) sultan turki utsmani yang kesepuluh, beliau mengkhawatirkan negara islam yang sedang dalam masa kejayaannya ini akan mengalami kemunduran. Oleh karena itu, para sultan turki utsmani berusaha untuk membuat aturan-aturan dan menerapkan kedisiplinan dalam pemerintahan mereka secara sistematis.

    Disamping itu, mereka juga sering berdiskusi masalah negara dengan syaikhul islam, mufti, qadhi dan para ulama. Mereka juga sering berada dalam majlis ceramah para ulama-ulama tasawwuf, mendengarkan nasihat-nasihat dari mereka. Salah satu ulama tasawwuf pada masa Sultan Sulaiman Al Qanuni adalah Beşiktaşlı Yahya Efendi.

    Yahya Efendi juga dikenal dengan nama Molla Şehzade. Ayah beliau bernama Omer Efendi. Beliau lahir di kota Trabzon sama dengan Sultan Sulaiman yang hanya selisih beberapa hari dengan beliau. Ketika Hafsa Sultan, ibu dari sang sultan tak lagi keluar air susunya, akhirnya beliau disusui oleh ibunda Yahya Efendi. Mereka menjadi saudara sepersusuan. Kelak yang satu akan menjadi penguasa dunia, dan yang satu nya akan menjadi ulama.

Potret kota Trabzon di masa Turki Utsmani


    Yahya Efendi berguru kepada Syaikhul Islam Zenbilli Ali Efendi. Dari gurunya, beliau mempelajari ilmu tasawwuf, cara menguasai hawa nafsu. Setelah gurunya wafat beliau mengabdikan dirinya sebagai seorang muallim atau pengajar di madrasah.

    Setelah selesai waktu khidmahnya sebagai mudarris, beliau diberi hadiah oleh Sultan Sulaiman sebuah bangunan Dergah / Tekke (pusat pengajaran berasrama bagi kaum sufi) di daerah Beşiktaş. Disamping menyibukkan diri dengan zikir, disana beliau juga mengajarkan ilmu agama kepada para santri-santri. Beliau dikenal dikalangan masyarakat dengan doanya yang maqbul.




    Sedangkan Sultan Sulaiman berada di Istana Topkapı. Negara sedang berada dalam masa kejayaannya. Dunia bahkan eropa tunduk padanya. Akan tetapi, beliau selalu memikirkan nasib negaranya kelak. Sang Sultan memikirkan nasib dari negara yang telah berhasil dia bawa kepada puncak kejayaannya. Beliau pun mulai berpikir keras, “Apakah kesultanan Turki Utsmani juga akan mengalami kemunduran dan kemudian akan hancur?”

    Akhirnya beliau pun mengirim surat untuk menanyakan hal tersebut kepada saudara sepersusuannya, Yahya Efendi. Setelah suratnya sampai kepada Yahya Efendi. Beliau pun membaca surat tersebut yang isinya;

    “Engkau adalah seseorang yang dapat mengetahui rahasia Ilahi. Dengan kemulian tersebut, berilah penerangan kepadaku. Dalam keadaan seperti apakah sebuah negara akan hancur? Bagaimanakah akhir dari Kesultanan Turki Utsmani? Apakah negara ini akan mengalami kemunduran dan kehancuran pada suatu hari, dan apa penyebabnya jika negara ini mengalami kehancuran?”.

Kemudian, Yahya Efendi pun menjawab pesan tersebut dengan jawaban yang sangat singkat.

“Itu bukan urusanku!

    Sultan pun sangat kaget ketika membaca jawaban tersebut. Beliau tidak dapat memahami jawaban tersebut. Beliau juga tidak menyangka orang terpandang seperti Yahya Efendi tidak menganggap penting perkara ini dan hanya memberikan jawaban yang singkat. Sultan pun mulai bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, “Apa mungkin ada makna lain yang tidak aku pahami dari jawaban tersebut?” Akhirnya, beliau pun berangkat sendiri menuju Beşiktaş, tempat Yahya Efendi tinggal.

    Setelah menanyakan kabarnya, kemudian beliau bertanya “Wahai saudaraku, kenapa engkau tidak menganggap serius surat yang aku kirimkan? Beritahu aku apa arti dari jawabanmu itu.”

Yahya Efendi menjawab, “Wahai sultanku, aku telah menjawab pertanyaan anda.

Sultan pun berkata, “Maksudnya apa? aku tidak dapat memahami jawabanmu”.

    Yahya Efendi pun menjelaskannya :

 “Wahai sultanku, ketika kezaliman sudah merajalela dan ketidakadilan menyebar di sebuah negeri, dan orang-orang yang mengetahui hal-hal tersebut tidak peduli sambil berkata, ‘Itu bukan urusanku.’ Ketika jeritan orang-orang fakir, orang-orang yang membutuhkan, dan anak-anak yatim piatu terdengar sampai ke langit, tetapi tidak ada seorang pun yang mendengarnya selain bebatuan, maka pada saat itulah akhir kejayaan sebuah negara terlihat. Maka kekayaan negara akan terus berkurang, kepercayaan dan penghormatan rakyat terhadap sultan akan goyah, ketaatan para tentara terhadap pemimpinnya pun mulai hilang, tidak ada lagi sikap saling menghormati di antara masyarakat. Dengan demikian, sesuatu yang telah ditakdirkan, yaitu keruntuhan dan kehancuran pun akan datang.”

Ketika mendengar jawaban tersebut, Air mata sang Sultan pun mengalir sampai membasahi jenggotnya. Kemudian, beliau pun menadahkan tangannya dan berdoa “Ya Rabbi, lindungilah rakyatku dari keadaan seperti itu”.

Dari penjelasan Yahya Efendi kita bisa ambil pelajaran;

Ketika orang tua tak lagi peduli dengan pendidikan anaknya,

Ketika anak tak lagi peduli dengan nasihat orang tua dan gurunya,

Ketika rakyat tak lagi peduli dengan tetangga dan lingkungannya,

Ketika para Lurah, Bupati, Walikota, Gubernur, Wakil Rakyat dan Presiden tak lagi peduli dengan keluhan dan kesejahteraan rakyatnya,

Maka tunggulah! kehancuran negara akan datang menghampiri

Oleh karena itu, marilah saudara-saudara kita bertafakur dan membenahi diri. 


Foto Dergah dan Maqam Yahya Efendi di Beşiktaş, Istanbul


Sumber : Buku Kayı-IV Osmanlı Tarihi Ufukların Padişahı: Kanunî hal. 333-335, Prof. Dr. Ahmet Şimşirgil, Timaş Yayınları, İstanbul, 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Wahabi Dari Sudut Pandang Turki Utsmani

Tradisi Turki Utsmani Di Bulan Suci Ramadhan

SULTAN JUGA SEORANG AYAH