Sejarah Wahabi Dari Sudut Pandang Turki Utsmani

 

Sejarah Wahabi

Dari Sudut Pandang Turki Utsmani





 

    Sepanjang sejarahnya, Kesultanan Turki Utsmani memberikan perhatian khusus kepada Haramain (Makkah Al Mukarramah & Madinah Al Munawwarah) dan juga negara-negara Islam lainnya. Utsmani tidak memungut pajak dan tentara dari daerah Haramain bahkan Sultan Turki Utsmani mengirimkan bantuan khusus ke daerah tersebut setiap tahunnya.

    Orang-orang di wilayah Hijaz (sebuah wilayah di sebelah barat laut Arab Saudi) menerima pemerintahan Utsmani secara sukarela dan tidak pernah diperlakukan sebagai negara jajahan. Para sultan Turki Utsmani tidak menganggap dirinya sebagai penguasa di wilayah ini melainkan sebagai Khadim / pelayan bagi dua kota suci tersebut atau biasa disebut dengan ‘Khadimul Haramain’ / Pelayan dua kota suci Makkah dan Madinah.

    Para pejabat pemerintah Utsmani dan orang-orang kayanya banyak mendirikan wakaf untuk kepentingan rakyat di wilayah tersebut. Terlepas dari semua perlakuan baik Turki Utsmani, berbagai keluhan dan kekacauan terjadi pada masa kekuasaan Turki Utsmani seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya.

    Sementara itu, konflik Syarif - Sayyid di kalangan orang arab tidak pernah berhenti. Syarif sendiri adalah gelar untuk keturunan Nabi Muhammad SAW dari Jalur Sayyidina Hasan RA sedangkan Sayyid adalah dari jalur Sayyidina Husain RA. Dalam situasi ini, Turki Utsmani lebih memposisikan diri sebagai penengah dan menasehati mereka agar menemukan solusi sendiri dari masalah yang mereka hadapi. Konflik antara Syarif Makkah Ghalib dengan keponakannya membuat keadaan Hijaz menjadi kacau. Konflik paling berdarah terjadi pada tahun 1789 yang berakhir dengan tertangkapnya Syarif Abdullah.



    Disaat konflik antar Syarif terus berlanjut, kelompok Wahabi di Najd semakin memperkuat diri dan mulai memperluas pengaruhnya. Karena perang panjang dan konflik internal yang dialami Utsmani membuat masalah wahabi ini tidak dianggapi dengan serius sehingga menyebabkan kelompok ini terus meningkat dan menguat.

Pendiri paham wahabi adalah Muhammad bin Abdul Wahhab yang juga dikenal dengan Syaikh Najdi. Ia berasal dari bani Tamim. Lahir pada tahun 1699 di desa Uyainah, yang terletak di daerah Najd. Para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab disebut dengan Wahabi, oleh karena itu paham yang ia sebarkan pun dikenal dengan paham Wahabi.

    Ibnu Abdul Wahhab pergi ke daerah Syam (Damaskus), Basrah, Baghdad, Iran dan India untuk memperdalami ilmu agama dan juga berdagang. Ketika sedang mencari ilmu di Syam, ia membaca kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan terpengaruh pemikirannya yang bertentangan dengan Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah. Pada tahun 1730, ia kembali ke kampung halamannya di Najd dan mulai menulis kitab-kitab agama. Ia menuangkan paham Mu’tazilah, paham-paham sesat yang lain, dan juga pemikirannya sendiri. Ia selalu berusaha untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya. Pada tahun 1744, ia menetap di kota Dir’iyyah dekat dengan Riyad, ibukota Arab Saudi sekarang.

    Penduduk Dir’iyyah termasuk keluarga Muhammad bin Suud (m. 1766) menjadi pengikutnya. Keluarga Suud (Saud) lah yang membantu menyebarkan paham wahabi ini. Mereka mengeluarkan fatwa bahwa orang-orang muslim yang tidak sepaham dengan mereka telah keluar dari tauhid, halal hartanya untuk dirampas dan bahkan halal untuk dibunuh. Ibnu Abdul Wahhab menyatakan dirinya sebagai Qadhi dan Abdul Aziz bin Muhammad bin Suud sebagai penguasa Dir’iyah. 

Berikut ini beberapa paham sesat wahabi ;

·        Berdoa dengan bertawasul kepada Rasulullah SAW, para auliya atau waliyullah adalah perbuatan syirik

·        Tidak boleh membangun bangunan maqam (Nabi, Auliya, Wali Allah), bahkan mereka melarang Maqam Rasulullah SAW dibangun.

·        Berdzikir menggunakan tasbih merupakan bid’ah

·   Mereka memahami Al-Qur’an hanya dari makna dzahirnya saja. Mereka juga menyandarkan tempat kepada Allah SWT layaknya makhluq.

·       Mereka menganggap segala sesuatu di luar Al-Qur’an dan Sunnah adalah bid’ah. Mereka tidak menganggap adanya Ijma’ dan Qiyas

·        Bermadzhab atau mengikuti salah satu dari empat imam madzhab adalah bid’ah

·        Mereka mengingkari adanya syafaat di hari kiamat

    Meskipun tampaknya niat dari Ibnu Abdul Wahhab adalah menyebarkan pemikirannya sendiri akan tetapi niat sebenarnya adalah mendirikan sebuah negara sendiri dan menambah kekuatan politiknya. Ia mengirim utusan ke ulama Ahlussunnah waljama’ah di Makkah dan menyampaikan pemikiran-pemikirannyanya, tetapi para ulama Ahlussunnah tidak menerima pemikiran-pemikirannya, bahkan mereka menulis kitab-kitab yang mengkritik pemikiran-pemikiran sesatnya. 

    Orang-orang wahabi menyatakan perang terhadap orang-orang yang tidak sepemikiran dengan mereka. Pada tahun 1766, Muhammad bin Suud yang digantikan oleh anaknya yaitu Abdul Aziz terus bekerja sama dengan Ibnu Abdul Wahhab dengan terang-terangan membunuh para ulama dan orang-orang Ahlussunnah waljama’ah dan menyatakan diri sebagai khalifah. Ia mengumpulkan para ulama dan menyatakan kepada mereka bahwa ia akan menguasai daerah hijaz hingga Baghdad.

   Pada saat itu, Gubernur Baghdad Suleyman Pasya menggali informasi mengenai kelompok wahabi. Ia mengetahui apa maksud dan tujuan mereka dan mengambil tindakan untuk mengatasinya. Sementara itu mereka mengumpulkan bala tentara dan meminta izin kepada Syarif Makkah untuk menjalankan ibadah haji akan tetapi tidak diizinkan karena sudah mengetahui tujuannya.

    Pada tahun 1792 setelah kematian Ibnu Abdul Wahhab, Abdul Aziz mengirimkan tiga ulama wahabi ke Makkah untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah waljama’ah. Para ulama Ahlussunnah berhasil membungkam dan mengalahkan mereka dalam perdebatan tersebut dan menyuruh mereka untuk memperbarui syahadatnya. Mereka juga menandatangani sebuah kertas yang menyatakan bahwa pemikiran mereka itu sesat. Setelah itu mereka pulang menemui Abdul Aziz dan menceritakan semua yang terjadi. Abdul Aziz memikirkan kekuatan politik mereka akan terguncang. Oleh karena itu, ia bersama ribuan pasukannya berangkat untuk menyerang Makkah. Mereka berhasil menguasai Bahrain dan Lahsa dan menunjuk penguasa wahabi untuk wilayah tersebut.

    Mereka berhasil memasuki kota Basrah, Baghdad, bahkan sampai ke Yaman. Kota Thaif juga berhasil dikuasai oleh orang-orang wahabi dan penduduknya dibantai oleh mereka. Syarif Makkah Ghalib dan Gubernur Jeddah Syarif Pasya bergerak mundur ke Jeddah dikarenakan pasukannya yang sedikit. Melihat situasi ini, para penduduk Makkah yang telah mengikuti paham wahabi mengundang Abdul Aziz bin Muhammad bin Suud untuk datang ke Makkah. Setelah terjadi peperangan yang berdarah, pada tanggal 30 April 1803 orang-orang wahabi memasuki kota Makkah. Mereka banyak melakukan pembantaian, penjarahan dan membuat kerusakan kota. 

Dikarenakan peristiwa tersebut banyak dari orang-orang yang sedang berhaji menjadi terganggu. Bahkan di musim haji pada tahun 1806 para jamaah haji tidak bisa melaksanakan wukufnya di Arafah. Situasi ini digunakan sebagai sarana propaganda terutama terhadap Sultan Selim Han III (1789-1807). Pemerintah Turki Utsmani tidak bisa mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang wahabi dan pengaruh mereka pun semakin menyebar luas.

Ketika di Makkah, Abdul Aziz menghancurkan bangunan-bangunan maqam dan tempat-tempat suci. Setelah itu ia pergi dari Makkah dengan meninggalkan 200 orang pengikutnya. Syarif Makkah Ghalib bersama pasukan Turki Utsmani memanfaatkan keadaan dengan mengepung kota Makkah dan dalam waktu 25 hari kota Makkah berhasil di rebut kembali.

    Pada 4 November 1803, Abdul Aziz bin Muhammad bin Suud dibunuh oleh seorang penganut syiah karena merasa dendam atas pembantaian yang dilakukannya di Karbala. Abdul Aziz digantikan oleh putranya yang bernama Suud bin Abdul Aziz. Pada bulan Juni 1805, Suud bin Abdul Aziz berhasil menguasai kota Madinah dan kembali merebut kota Makkah (1806).

    Orang-orang wahabi banyak melakukan perampokan dan penganiayaan terhadap jamaah haji. Pada tahun 1806, Syarif Makkah Ghalib diberhentikan jabatannya sebagai Syarif Makkah karena telah membaiat Suud bin Abdul Aziz. Ditunjuklah Syarif Yahya sebagai penggantinya.


Lukisan Sultan Mahmud Khan II


    Sultan Mahmud Khan II (1808-1839) memerintahkan gubernur Mesir, Khedive Muhammad Ali Pasya untuk memberantas orang-orang wahabi dan menghukum orang-orang yang tidak patuh terhadap Turki Utsmani. Pada 1 Maret 1811, Mehmed Ali Pasya mengirim putranya, Tosun Pasya beserta pasukannya ke Hijaz. Tosun Pasya memasuki kota Madinah pada 2 Desember 1812. Pada 23 januari 1813, kota Makkah berhasil direbut kembali dari tangan orang-orang wahabi. Beberapa hari kemudian kota Thaif juga berhasil direbut kembali.

Lukisan Khedive Muhammad Ali Pasya


    Kabar terlepasnya wilayah Hijaz dari tangan orang-orang wahabi menjadi kabar gembira bagi seluruh kaum muslimin di dunia. Suud bin Abdul Aziz yang meninggal pada 27 April 1814 digantikan oleh putranya, Abdullah bin Suud bin Abdul Aziz. Akan tetapi, pada tanggal 26 September 1818 saat Dir’iyyah berhasil ditaklukkan oleh putra sulung Khedive Muhammad Ali Pasya yaitu Ibrahim Pasya, Abdullah bin Suud ditangkap dan dibawa ke Istanbul bersama keluarganya. Tercatat selama tiga hari diadakan syukuran selama 3 hari atas diberantasnya kaum wahabi dari tanah suci.  

    Setelah Abdullah bin Suud dibawa ke pengadilan, ia tetap teguh pada paham wahabinya. Pada akhirnya dengan fatwa dari Syaikhul Islam Makkizade Mustafa Ashim Efendi dan perintah dari Sultan Mahmud Khan II, ia dihukum mati pada tanggal 17 Desember 1818.


Sumber : Buku Osman Gazi'den Sultan Vahiduddin han'a Osmanlı Tarihi 5, Ömer Faruk Yılmaz, Çamlıca Kitap, 2016, İstanbul



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tradisi Turki Utsmani Di Bulan Suci Ramadhan

SULTAN JUGA SEORANG AYAH